Sabtu, 04 Februari 2017

Donald Trump, Faktor Akselerator Jatuhnya Imperium Amerika



Semua gejala yang muncul selama masa pemerintahan Bush, kini semakin nampak jelas dalam bentuk hasil turunannya di era Donald Trump. Kebijakannya yang fasis, merupakan sebuah gejala degradasi dan kemunduran yang menghentak banyak orang jika sebuah negara superpower seperti Amerika bisa jatuh.

Johan Galtung, sosiolog Amerika pernah mengidentifikasi 15 kontradiksi struktural AS paling menonjol melalui metode pendekatan kontradiksi sebagai berikut:

– Kontradiksi ekonomi, seperti: tingkat produksi yang berlebihan yang tidak sebanding dengan permintaan, pengangguran, serta meningkatnya biaya-biaya terkait perubahan iklim;
– Kontradiksi militer, termasuk ketegangan yang semakin meningkat antara AS, NATO, dan negara-negara sekutu lainnya. Ditambah lagi dengan beban ekonomi/finansial yang tidak mampu ditanggung akibat perang;
– Kontradiksi politik, termasuk masalah peran yang tumpang tindih antara AS, PBB, dan negara-negara Uni Eropa;
– Kontradiksi kultural, seperti: ketegangan antar masyarakat Yahudi-Kristen, Islam, dan kelompok minoritas lainnya;
– Dan kontradiksi-kontradiksi sosial lainnya dengan semakin tingginya kesenjangan dan jurang pemisah di antara orang-orang yang datang dalam rangka mewujudkan obsesi dan “Mimpi Amerika”, yaitu keyakinan bahwa setiap orang bisa hidup makmur di Amerika dengan bekerja keras. Namun faktanya, semakin banyak orang yang gagal mewujudkannya mimpi tersebut menjadi nyata.

Di dalam bukunya, Galtung mencoba mengeksplorasi bagaimana ketidakmampuan struktural dalam mengatasi berbagai kontradiksi semacam itu akan menyeret Amerika Serikat kepada situasi bubarnya kekuasaan politik, baik secara global maupun domestik.

Kontradiksi Trump
Trump menegaskan bahwa dia meyakini pasukan AS masih dibutuhkan kehadirannya di Iraq dan Afghanistan, bahkan ia mengusulkan untuk mengirim lebih banyak lagi tentara ke Iraq. Dalam kesempatan lain, Trump mengatakan, “Seharusnya kita sudah bisa mengambil alih minyak yang ada di negara-negara itu”. Anehnya, ia juga mengkritik keras kebijakan-kebijakan militer negaranya.

Terkait isu domestik, Trump pernah berjanji akan mendeportasi 11 juta orang yang dianggap sebagai migran ilegal, membangun tembok pemisah di perbatasan antara AS dan Meksiko, memaksa semua Muslim Amerika untuk mendaftarkan diri ke pemerintah, dan melarang seluruh imigran Muslim masuk ke Amerika Serikat.

Bagi Galtung, sejumlah proposal kebijakan Trump yang inkoheren atau saling kontradiktif merupakan bukti terjadinya kemunduran struktural yang serius di pusat kekuasaan AS.

“Ia (Trump) memperlunak kontradiksi dengan Rusia, mungkin dengan Cina, dan nampaknya juga dengan Korea Utara. Sebaliknya, ia mempertajam kontradiksi di dalam negeri AS, di antaranya yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat minoritas,” kata Galtung.

Di satu sisi, kebijakan Trump terlihat seperti memberikan peluang untuk menghindari potensi konflik dengan kekuatan-kekuatan besar saingannya, seperti Rusia dan Cina. Namun di sisi lain, dengan bodohnya ia masih harus sendirian menghadapi berbagai perang unilateral yang secara sepihak diinisiasi oleh negaranya, dan terus memperparah kontradiksi di dalam negeri dengan kelompok minoritas.


Bagi Galtung, sejumlah proposal kebijakan Trump yang inkoheren atau saling kontradiktif merupakan bukti terjadinya kemunduran struktural yang serius di pusat kekuasaan AS.

Trump menjadi faktor akselerator
Motherboard mengajukan pertanyaan kepada Galtung, apakah dalam prediksinya, Trump akan mempercepat ataukah memperlambat kejatuhan Amerika?



“Bahkan jika kita berikan kepercayaan kepada Trump dan kita berasumsi bahwa ia lebih memilih untuk menyelesaikan konflik-konflik besar dengan perang, terutama terhadap Rusia, maka hal itu masih akan mempercepat kemunduran dari atas, dan dari pusat,” kata dia.

Tentu saja, apa yang ia lakukan sebagai seorang Presiden masih kelihatan. Tetapi apa dan siapa yang sebenarnya sedang runtuh?

“Pengaruh sebuah imperium itu lebih besar daripada dampak kekerasan di seluruh dunia,” kata Galtung.

“Imperium adalah sebuah struktur lintas batas dengan negara imperial yang memerintah berada di satu titik pusat strukturnya, kemudian ada negara-negara lain sebagai klien yang mengelilingi pusat tersebut. Negara-negara klien itu berposisi sebagai pengikut yang memiliki ketergantungan ke pusat. Wujud dari imperialisme adalah menciptakan elit-elit baru di keliling struktur yang bekerja untuk para elit di pusat.”

Dengan kata lain, menciptakan penguasa boneka di negara-negara klien sebagai kepanjangan tangan penguasa imperium.

Negara yang berada di pusat imperial bisa negara diktator, bisa juga negara demokrasi. Maka menurut Galtung, jatuhnya imperium AS terjadi ketika para elit negara-negara pengikut tidak mau lagi berperang untuk Amerika, dan tidak lagi mau dieksploitasi untuk kepentingan elit di pusat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar