Sabtu, 11 Februari 2017

Enam Mitos Tentang Intelijen Keamanan Nasional Amerika



Sehari setelah disumpah jabatan, Donald Trump kembali berbicara di markas CIA. Pidato Trump tersebut dilihat sebagai upaya untuk memperbaiki hubungannya dengan dinas intelijen. Hubungan keduanya sempat memburuk akibat sikap dan pernyataan Trump sebelumnya yang skeptis terhadap hasil penilaian intelijen terkait aksi peretasan yang diduga dilakukan Rusia terhadap surat-surat elektronik Komite Nasional Demokrat dan kampanye kandidat presiden Partai Demokrat, Hillary Clinton.

Sikap skeptis itu ditunjukkan oleh Trump bersama sejumlah ahli di bidang keamanan yang menyatakan keraguan mereka mengenai rumitnya hubungan antara isu serangan siber dengan akurasi sumber-sumber intelijen. Sikap skeptis itu nampaknya semakin diperparah oleh bukti-bukti yang tak terelakkan mengenai campur tangan Rusia pada pemilu yang lalu.

Di universitas dan lembaga-lembaga akademis lain diajarkan bagaimana komunitas intelijen mengumpulkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi sensitif kepada para pembuat kebijakan dan pejabat-pejabat yang terpilih.

Berikut adalah beberapa hal yang secara salah dipahami mengenahi aktifitas-aktifitas intelijen, yang bukan hanya dipertontonkan oleh presiden Donald Trump, tetapi juga oleh laporan-laporan media terkait intervensi Rusia terhadap pilpres 2016 yang lalu.

Koreksi atau sikap yang benar terhadap mitos-mitos tersebut penting dilakukan karena publik sudah terlanjur menaruh harapan yang tidak realistis terhadap produk-produk dan analisa intelijen. Harapan yang salah ini bisa merusak kredibilitas komunitas intelijen itu sendiri, dan akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam menyelesaikan setiap misi.

Mitos 1: Data Intelijen dan Bukti Pengadilan adalah Sama

Data intelijen dan bukti (pengadilan) itu sama sekali berbeda. Para analis intelijen bekerja dengan memahami situasi dari multi aspek, lalu membuat penilaian tentang situasi tersebut dan menginformasikannya kepada para pembuat keputusan.

Di sisi lain, para investigator penegak hukum mencari bukti-bukti yang diperlukan untuk memenuhi standar legalitas beban pembuktian (onus probandi). Di ruang pengadilan, bukti-bukti langsung sebuah kejahatan, seperti: DNA, sidik jari, dan kesaksian/pengakuan para saksi, merupakan bukti yang terbaik.

Di kalangan komunitas intelijen, para analis terkadang harus bersinggungan dengan dinas intelijen asing, bahkan dengan kelompok-kelompok “teroris” yang memiliki kemampuan menggunakan sarana-sarana kontra-intelijen negara dan mampu melakukan kampanye penyesatan untuk mengelabuhi pejabat-pejabat intelijen AS, sehingga pada akhirnya akan menciptakan situasi ketidakpastian.

Menjadi tidak realistis apabila kita terlalu berharap dinas intelijen akan selalu didukung oleh “bukti-bukti yang sudah teruji kebenarannya” dalam melakukan penilaian. Alasan lain mengapa banyak orang begitu skeptis dengan intelijen karena minimnya penjelasan atau keterangan yang bisa diterima tentang bagaimana para analis itu membuat berbagai kesimpulan.

Sebagai contoh, Kantor Direktur Intelijen Nasional pernah mengungkap ke publik sebuah laporan mengenahi peran Rusia dalam mempengaruhi pemilu di AS pada awal Januari lalu. Merespon hal itu, Robert Graham, seorang analis sebuah perusahaan di bidang keamanan siber, mengatakan kepada Wired, “Melihat jenis data apa yang mungkin mereka miliki, seharusnya mereka bisa memberikan lebih banyak lagi detilnya. Dan mereka benar-benar membuat saya kesal.” Respon senada juga diungkap oleh Susan Hennessey, seorang anggota Brookings Institution melalui Twitter.

Tetapi berbagai kritikan tersebut tidak benar. Teknik yang dipakai oleh berbagai dinas intelijen harus tetap dirahasiakan untuk menghindari terbongkarnya metoda dan daya analisa dinas intelijen oleh musuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar