Sabtu, 04 Februari 2017

Jihad Media, Adakah?



Jika pertanyaannya adalah soal ada atau tidak ada, maka hal itu terlalu mudah untuk dijawab. Sudah menjadi ciri khas manusia, sebagai ahsanu taqwiim yang dikaruniai akal suka mengada-adakan hal-hal baru dalam kehidupannya.

Justru hal itulah yang membuat garis sejarah manusia menjadi menarik untuk disimak. Tidak seperti ayam dan kucing, yang sejak generasi pertama hingga saat ini hidupnya begitu-begitu saja, hanya tentang ngeker-ngeker tanah dan mengejar-ngejar tikus.

“Jihad Media” sebagai sebuah frasa mungkin tidak bisa kita temukan di kitab-kitab matan maupun syarh manapun. Jihad media merupakan bentuk ijtihad dari para pimpinan Al Qaeda dan organisasi-organisasi lain di dunia ini yang menganut ideologi salafi jihadi.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Bashir Al-Wuhaisyi, pimpinan Al Qaeda Arabic Peninsula (AQAP), bahwa pekerjaan media adalah setengah dari jihad.

Begitupun Samir Khan, seorang penulis andalan AQAP yang berkewarganegaraan Amerika, dalam sebuah tulisannya yang dimuat di Inspire Magazine volume tujuh (majalah online berbahasa Inggris milik AQAP), Samir Khan berkisah bahwa dirinya sejak awal telah meyakini bahwa media jihad sangat penting bagi mujahidin, hanya saja dirinya belum bisa memastikan seberapa penting ini bagi mereka.

Sampai suatu saat seorang temannya di AQAP menjelaskan kepadanya dengan penuh keyakinan, “Sebuah produk media yang penuh kekuatan itu sama seperti sebuah operasi serangan kepada Amerika.”




Hal ini mengingatkan kita pada ungkapan seorang Sayyid Qutb yang melegenda, “Peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi tulisan bisa menembus jutaan kepala.”

Selain soal urgensi, tentu ada nash-nash syar’i yang melandasi klaim bahwa segala aktivitas seseorang/sekelompok orang dalam bidang media (baik media cetak, elektronik, maupun sosial) bisa dikategorikan sebagai jihad.

Abu Yahya Al Libi, seorang petinggi Al Qaeda yang meninggal setelah terkena serangan drone CIA di Pakistan pada tahun 2012, dalam sebuah pesan terakhirnya beliau mengutip surat Al Anfal ayat 65 sebagai landasan dalam jihad media.

“Wahai para Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang” (Al-Anfal : 65)

Imam As Sa’di mengungkapkan bahwa “kobarkanlah semangat” ini mencakup segala perkara yang mengarah kepada memotivasi orang beriman untuk berjihad dan menguatkan jiwa mereka. Di antaranya dengan menyebarkan kelemahan musuh dan kekacauan dalam barisan mereka.

Juga mengabarkan keindahan apa saja yang Allah janjikan bagi hamba-hambanya yang berjihad, juga ancaman dan hukuman terhadap mereka yang meninggalkan jihad. Yang demikian ini, dan sejenisnya adalah bentuk “kobarkanlah semangat” untuk berperang.

Dari ayat yang disampaikan Al Libi serta penjelasan Imam As Sa’di tersebut, dapat kita simpulkan bahwa jihad media merupakan bentuk “kobarkanlah semangat” di era kekinian. Sebuah era di mana media tak lagi menjadi sekedar penyampai informasi semata, namun media telah menjelma menjadi ideological state apparatus, meminjam bahasa Louis Althusser seorang filsuf Neo Marxis asal Prancis, di mana media menjadi alat untuk menjaga kepentingan dan stabilitas rezim yang berkuasa.


Hingga akhirnya media-media tersebut menjadi identik dengan pembentukan opini, framing issue, serta peluncuran propaganda semata. Sehingga prinsip-prinsip ideal yang semestinya dipegang erat-erat oleh sebuah media seperti impartial, cover both sides, serta independent tak lagi dipakai.

Di tengah kegilaan tersebut lah, jihad media terlahir dan hadir sebagai antitesis. Di mana para mujahid media (harus) senantiasa bersungguh-sungguh dan konsisten dalam mengeluarkan produk-produk medianya. Sebuah produk media yang senantiasa memperhatikan interest (kepentingan) umat Islam serta berperan sebagai pressure (penekanan) terhadap segala bentuk kedholiman tanpa mengabaikan prinsip-prinsip independensi dan keberimbangan.



Penulis: Rusydan Abdul Hadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar